Ma'rifaht Billah.

                                                                                      
                                                                         

Tujuan Tashawwuf.
Sebagai  suatu pertimbangan  dari uraian problimatika Tashawwuf ini  ialah pengertian  tentang tujuan tashawwuf.  Memang dalam tashawwuf  sebagai  perbandingan kebathinan ini  tidak mendetail uraiannya, sebagaimana kupasan tashawwuf  yang  khusus  dalam suatu ma’na yang bershifat  sistimatik  dengan  membicarakan  Al Masyahid, Al Maqamaht, Al Ahwal, dan penguraian Tariqaht  dengan segala  seluk beluknya.  Tetapi  yang pentingnya  ialah  uraian yang dapat membedakan antara Tashawwuf yaitu jalan Ketuhanan {ketaqwaan} dan jalan Kebathinan {kemasyuran}, seperti  hal-hal  yang  mencakup  tentang arti dan difinisi dari  kedua  hal  tersebut, dan perbedaan yang ditinjau dari isinya,  jalan yang ditempuh dan tujuannya.
Para kaum Mutashawwifin didalam bertaqarrub kepada Allah Ta’ala dengan bertashawwuf  adalah karena ingin mencapai tujuan yang selalu diharaf-harafkan.  Dan tujuan itu ialah, Ma’rifaht billah dan Insan Kamil.
Ma’rifaht Billah.
Ma’rifaht Billah adalah melihat akan Allah Ta’ala atas karunia yang diberikan dihati secara jelas dan nyata, dengan segala keni’matan dan kebesaran-Nya, tetapi tidak dengan {kaifiat} yaitu Tuhan digambarkan seperti benda atau makhluq ataupun yang lain dengan ketentuan bentuk dan rupa sebagai jawaban kaefah {bagaimana dzat Tuhan itu}.
Sayyid Abi Bakar Al Makky menyatakan bahwa :
“Ma’rifaht kepada Allah Ta’ala adalah merupakan suatu Nur {cahaya} yang telah dipancarkan Allah Ta’ala di hati hambaNya, sehingga dengan cahaya tersebut, hamba Allah itu bisa melihat rahasia-rahasia kerajaan Allah dibumi dan dilangit dan hamba tersebut, mampu mengamati-amati akan shifat keesaan dan kekuasaan Allah Ta’ala”.
Oleh karena itu Khalifaht Abu Bakar Shiddiq r.a.
Ketika ditanya : “Dengan apakah engkau melihat Tuhanmu ?”  Beliau menjawab :
“Dengan sesuatu yang telah Allah Ta’ala perlihatkan sendiri padaku. Dan tidak bisa didapati dengan panca indera, tidak bisa diukur dengan ukuran, dan yang dekat pada kejauhanNya dan yang jauh pada kedekatanNya. Dia diatas segala sesuatu dan tidak boleh dikatakan seperti sesuatu pada suatu yang lain. Sungguh Maha Suci Dzat yang bershifat demikian dan tidaklah bershifat yang demikian selain Allah Ta’ala”.
Istilah lain sebagai kata ganti Ma’rifaht adalah Ru’yah, Musyahadah dan Liqa. Ru’yah ini bisa diperoleh sesudah kasyaf, sesudah terbukanya dinding yang selalu menyelimuti antara hamba dan Khaliq.
Imam Al Ghazali pernah menyampaikan tentang hal Ru’yah yaitu :
{“Begitu nyata sebagai saya pernah kenal Tuhan itu didunia dengan ma’rifaht haqiqaht yang semperna dengan tidak berupa gambaran dan khayal, dengan tidak ada ketenangan bentuk bentuk dan rupa, engkau melihat Tuhan itu demikian pula di akhirat”}.
Demikian pula dalam pembagiannya tentang Ilmu Akhirat yang telah ma’nakan oleh Ahmad Asy Syibashy dalam pembahasannya {ta’tsirut tashawwuf fil Ghazali}.
Imam Al Ghazali mengatakan :
“Wa ‘ilmu mukasyafahtin wahuwa ‘ilmul bathini – Wahuwa nurun yazh-hiru fil Qalbith-thahiri wayahdiy ilalma’rifahtil hhaqiyqiyah billahi ta’ala – Wahuwal-ladziy yartafi’u ma’ahul-ghithaa-u hhaqqa tat-tadhi-hha jaliy-yahtal hhaqqit-tidha hhan yaj-riyl-‘iyaanil-ladziy laa yasyuk-ku fiyhi”.
{“Ilmu mukasyafaht atau ilmu bathin adalah cahaya yang terang dalam hati yang bersih dan emendatangkan ma’rifaht billah yang haqiqi. Dan adalah suatu cahaya yang bisa menghilangkan tutup {hijab} sehingga jelaslah kenyataan Tuhan dengan jelas sekali sama dengan pnglihatan mata yang tidak diragu-ragukan lagi”}.
Demikianlan pengertian-pengertian tentang Ma’rifaht Billah dari beberapa Ulama mutashawwifn. Ma’rifaht billah tetap bisa dicapai oleh seseorang bila Ia sudah menjalankan Syari’aht dan membersihkan jiwanya dari segala kotoran ma’shiat.
Dan berulang kali Ibn Athaillah menyatakan dalam kitabnya :
“Bagaimana akan bisa digambarkan bahwa Tuhan tertutup oleh sesuatu padahal andaikata tidak ada Tuhan maka tidak wujudlah sesuatu”.
“Tuhan yang Haq tiadalah Dia tertutup. Hanya saja engkaulah yang terhalang untuk melihatNya. Keluarlah engkau dari shifat-shifat kemanusiaan, dari semua shifat-shifat yang bertentangan dengan shifat penghambaanmu supaya engkau bisa menjawab panggilan Tuhan yang Haq serta dekat disisihNya”.
Yang dimaksud dengan shifat-shifat kemanusiaan ialah shifat-shifat yang berhubungan dengan urusan Agama dan dalam hal  ini adalah bertentangan seperti  ma’shiat dan nifaq. Ma’rifaht billah adalah tujuan utama bagi kaum mutashawwifin dan merupakan kelezatan yang paling tinggi.
Sebagaimana Imam Al Ghazali mengatakan :
“Kelezatan mengenal Tuhan dan melihat keindahan ke Tuhanan dan melihat rahasia-rahasia hal ke Tuhanan adalah lebih lezat dari derajad kepimpinan yang merupakan keutamaan dari kelezatan-kelezatan yang ada pada makhluq”.
Ma’rifaht billah  selain merupakan keni’matan yang amat tinggi bagi kaum mutashawwifin juga menyebabkan adanya shifat malu dan menganggungkan kepada Allah Ta’ala sebagaimana Tauhid menyebabkan ridha dan menyerahkan diri kepada Allah Ta’ala. Dan dari hal pengertian-pengertian hikmah ma’rifaht billah tersebut dapat disimpulkan menjadi dua {2} ma’na yaitu :
1}.     Ma’rifaht billah bisa dikasab dengan melalui beberapa tangkatan.
2}.     Ma’rifaht billah  dicapai dengan adanya Nur {cahaya} yang dianugerahkan Allah Ta’ala kedalam hati yang bersih, sesudah hamba itu terlepas dari belenggu nafsu dan kotoran ma’shiat, jadi sekali-kali tidak dicapai dengan panca indera.

0 komentar: