Shalaht orang sakit.

                                                                                       
                                                                         


Shalaht orang sakit.
Adapun orang yang sedang sakit selama ‘aqqlnya masih sehat, diwajibkan jug melakukan shalaht yang lima waktu. Karena adalah shalaht lima waktu itu “Fardhu ‘ain” atas tiap-tiap mukallaf (yang sampai umur) yang tidak boleh ditinggalkan atau dilalai-lalaikan. Udzurnya hanya diwaktu tidur dan lupa. Tetapi jika telah bangun atau telah teringat, makawajiblah mengerjakannya juga.
Adapun orang-orang yang tidak kuasa berdiri, sebab sakit atau pusing kepala dalam menumpang kapal dan lainnya, dibolehkan shalaht berduduk. Jika tidak kuasa berduduk, dibolehkan berbaring. Jika tiada kuasa berbaring, dibolehkan shalaht menelentang , atau seberapa (sebagaimana) kuasanya, sehingga dibolehkan juga dikerjakannya dalam hati.
Shalaht  berduduk.
Adapun caranya shalaht berduduk yaitu :
                    Duduk seperti duduk tahiyat awwal atau bersila lalu berniat dan 
          bertakbir serta letakanlah kedua tangan di atas pusar.
                    Kemudian bacalah do’a Iftitah dan Al Fatihah seperti biasa, setelah 
          selesai  
                   Ruku’lah yaitu menundukkan kepala hingga setentang dahi dengan 
          tempat sujud, dan bacalah tasbihnya ruku’.
                    Sesudah itu I’tidal, yaitu duduk kembali (seperti semula) dan 
          lepaskanlah   kedua tangan, serta bacalah tasbih i’tidal.
                     Kemudian sujudlah sebagaimana sujud biasanya serta bacalah   
           tasbihnya.
              Kemudian duduklah kembali menyempurnakan rakaat yang kedua, 
           sebagaimana tadi raka’at yang pertama. Begitulah seterusnya hingga 
           salam.
Shalaht berbaring.
Adapun caranya shalaht berbaring yaitu :
                  Hendaklah berbaring diatas rusuk yang kanan dengan menghadap 
         muka, dada, perut dan kaki menghadap kiblat.
                  Lalu berniat dan bertakbir seperti biasa.
                 Jikalau kuasa ruku’ dan sujud itu dikerjakan sebagaimana shalaht 
         berduduk.
                  Dan jika tidak kuasa, boleh di isyaratkan dengan kepala.
                   Adapun isyarat sujud itu lebih rendah dari pada isyarat ruku’.
                  Dan jika kuasa pula isyarat dengan kepala, isyaratkan dengan kelopak 
         mata (kedipan).
                 Kemudian jika tidak kuasa juga, maka kerjakanlah dalam hati selama 
         ‘aqal masih waras, begitulah seterusnya sampai salam.
Keterangan :
Hendaklah melatih (mengikuti) dengan perbuatan sebagaimana caranya shalaht yang biasa (orang yang sehat) yaitu : caranya takbir, ruku’ i’tidal, sujud dan sebagaimana tuntunan rukun shalaht.
                                              

Akhlak dalam Kesabaran.

                                                                                       
                                                                          

Perbaikan Jiwa dan Budi.
Akhlak dalam Kesabaran.
Salah satu dari pada shifat-shifat yang sangat dianjurkan para mutashawwifin itu mitsalnya ialah sabar. Imam Al Ghazali menerangkan bahwa sabar itu adalah bawaan daripada sesuatu pengertian yang yaqin. Dan membedakan beberapa nama yang diberikan kepada sabar. Maka ma’na {nama} dari sabar terbagi beberapa bagian :
              ·    Pertama : Sabar ‘Iffah. yaitu : Jika itu ditujukan untukmenahan nafsu    perut dan nafsu keinginan bersetubuh 
   ·  Kedua : Sabar Dhabtun nafs. Yaitu : Jika ditujukan untuk menahan keserakahan kaya
   ·   Ketiga : Sabar Syaja’ah Yaitu: Jika ditujukan dalam peperangan untuk mencari kemenangan
    ·     Keempat: Sabar Hilm. Yaitu : Jika ditujukan untuk menahan amarah dan kesal. 
  ·  Kelima : Sabar Si’atus sadar. Yaitu: Jika ditujukan kepada sesuatu penghinaan atau kecaman
     ·      Keenam : Sabar Kitmanus sir. Yaitu: Jika ditujukan kepada merahasiakan sesuatu hal
     ·  Ketujuh: Sabar Zuhud. Yaitu: Jika ditujukan untuk meninggikan kehidupan
 ·     Kedelapan: Sabar Qina’ah. Yaitu: Jika ditujukan kepada menerima taqdir sebagaimana yang ada.
Ketha’atan menghendaki sabar, karena manusia yang tersendiri menghendaki lebih banyak pengawasan atas dirinya dalam mengerjakan ibadaht. Maka sabar tentang ketha’atan itu mempunyai (3) tiga keadaan :
                   ·   Pertama : Sabar sebelum tha’at, seperti mengukuhkan niat dan ikhlash 
            menahan diri daripada semua gerak-gerik yang dapat membawa 
            kepadanya, membulatkan tekad dan tujuan.
                 ·    Kedua : Sabar pada waktu mengerjakan suatu amal, dilakukan dengan 
            penuh kesungguhan sampai selesai.
               ·    Ketiga : Sabar sesudah selesai mengerjakan amal itu, di antara lain tidak 
           merasa bangga dan menampak-nampakkan kepada orang, sehingga 
           orang lain melihatnya dengan penuh keheranan.
Sabar itu dikerjakan demikian rupa sehingga menjadi hal lazim di dalam keseharian. Terutama dalam menghadapi sesuatu kejahatan yang ringan dan mudah dikerjakan, sabar itu menjadi lebih berat shifatnya, seperti sabar tentang dosa-dosa yang dapat dengan mudah dilancarkan lidah, seperti mengupat, berdusta, bertengkar (saling bantah-membantah), memuji-muji diri sendiri dan megemukakan jasa-jasa yang dikerjakan, baik untuk berbangga atau untuk mengadakan sesuatu perbandingan dengan orang lain, berkelekar, yang dapat menjadikan penyakit untuk hati. Sabar itu dapat dihasilkan hanya dengan menekan hawa nafsu dan membangkitkan kesungguhan kepada Agama. Melemhkan hawa nafsu itu dikerjakan dengan mengurangi keperluan kebendaannya, menghilangkan sebab-sebabnya, dan mengekang diri apa yang diingini. Kesungguhan pada Agama dapat dibangkitkan dengan memperbanyak ibadaht, dengan berfikir dan merenungkan critera-ceritera mengenai sabar dan akibat-akibatnya.
Di dalam Al Qur’an banyak sekali terdapat ayat-ayat tentang sabar yang ditujukan sebagai nasehat dalam bermacam-macam keadaan. Di antara lain Allah Ta’ala berfirman :  “Wahai sekalian orang beriman, perbesar sabar dan nasehat-nasehatilah antaramu dengan sabar”. Katanya pula :Kami coba dirimu dengan mendatangkan ketakutan, kelaparan kekurangan harta benda, kematian, dan kekurangan buah-buahan, tetapi akan Kami gembirakan kemudian orang-orang yang sabar!” Katanya lagi : “Minta tolonglah kamu dengan sabar dan dengan sembahyang, karena Tuhan itu selalu ada dekat mereka yang sabar”.
Ibn Mas’ud mennceritakan, bahwa sesudah peperangan Hanaian Rasulullah s.a.w. membagi-bagikan harta rampasan, di antaranya kepada Ibn Akra’ habis seratus ekor unta, begitu juga kepada Uyaynah seratus ekor unta, sebagaimana kepada orang-orang bangsawan Arab. Pembagian yang mewah ini menimbulkan iri hati orang-orang Anshar, yang lalu mengeritik perbuatan Nabi s.a.w. yang dikatakan tidak adil. Tatkala kecaman ini disampaikan oleh Ibn Mas’uud kepada Nabi s.a.w. berubahlah matanya seketika menjadi marah, seraya katanya:
Jikalau aku dikatakan tidak adil, maka siapa lagi yang dinamakan adil itu. Muda-mudahan Allah  memberikan rahmat kepada Nabi Musa a.s, yang menderita lebih banyak dari pada pengikut-pengikutnya yang bodoh dan dungu, sedang ia terus-menerus sabar “. Begitu juga Nabi s.a.w. pernah mengatakan bahwa : Besar sesuatu ganjaran Tuhan bergantung kepada besarnya bala yang diturunkan kepada seseorang, karena jika Tuhan mencintai sesorang  akan  menurunkan ujian kepadanya, jika orang itu ikhlash menderita, maka Allah Ta’ala pun ikhlash padanya.
Dan bagi orang-orang mutashawwifin diwajibkan mitsalnya benar, jujur dan terusterang dalam pemikiran, perkataan dan perbuatannya. Keadaan itu dalam istilah mutashawwifin disebut “sadaq”, dan orang yang bershifat demikian bernama “siddiq”. Karena Islam mewajibkan dan tidak memperbolehkan ummatnya untuk berdusta, tidak jujur, atau tidak benar dalam perkataan dan perbuatannya. Dan jika di lihat perbaikan akhlak secara keshufian itu, sebagai contoh suatu cara yang umum, yang dinamakan takhali, tahalli dan tajalli. Dengan riyadhah, kepada ma’rifahtullah. Dari muslim kepada mu’min, kepada shiddiqin, shalihin, mutahaqqiqin.