Keutamaan dan Nilai Shaum (Puasa).



Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w. meriwayatkan Hadits Qudsi menyatakan bahwa Allah Ta’ala berfirman :
“Kullu ‘amalibni Adama lahu illash-shiyama fainnahuli wa analladzi aj-zibihi wash-shiyamu junnatun, wa idzaa kana yauwmu shaumi ahhadikum falaa yarfust walaa yashkhab, wa insabbahu ahhadun auwqaa talahu falyaqul inni muru-un shaimun, walladzi narghsu Muhammadin biyadihi lakhalufu famish-shaimi ath-yabu indallahi min riy-hhilmiski wash-shaimi far-hhatani yarghra-hhuhuma idzaa afthara fari-hha bighith-rihi wa idzaa laqiya rabbahu fari-hha bishaumihi.”
“Semua amal perbuatan Bani Adam menyangkut dirinya pribadi, kecuali shaum. Sesungguhnya shaum itu untukKu, dan karena itulah Akulah yang langsung membalasnya. Shaum itu ibarat perisai. Pada hari melaksanakan shaum, janganlah yang bershaum mengucapkan kata-kata kotor, tidak sopan dan tidak enak didengar, dan jangan pula ribut hinggar-binggar bertengkar. Jika diantara kalian memakinya atau mengajak berkelahi, hendaknya katakan kepadanya : “Saya sedang bershaum.” Selanjutnya Nabi Muhammad s.a.w. bersabda : “Demi Allah yang diri Muhammad didalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya bau busuk mulut orang bershaum lebih wangi disisi Allah dari bau kesturi”. Dan bagi orang shaum tersedia dua kegembiraan, gembira ketika berbuka shaum karena bukanya dan gembira ketika menemui Rabb-nya karena menerima pahala shaumnya.”
(HQR Syaikhani, Nasa’i dan Ibnu Hibban yang bersumber dari Abi Hurairah).
Semua amal ibadaht dan perbuatan tha’at mempunyai pahala dan ganjaran tertentu dan terbatas, yang akan diterima oleh orang itu sesuai dengan amalnya. Adapun shaum (puasa) yang dilakukan dengan ikhlash menurut tuntunan “syara’ “ pahala yang besar langsung dari karunia dan rahmat-Nya yang Maha Pemurah lagi Penyayang.
Shaum ibarat perisai, dinding dan benteng, karena dapat melindungi pelaksananya dari kelemahan ruhani dan jasmani. Shaum menjadi sumber penumbuh cita-cita, kehendak dan kemauan. Shaum sebagai sumber yang memancarkan kekuatan beragama dan menambah kekuatan cahaya didalam bathin. Selain dari itu, shaum menjadi sumber pokok kekuatan dan kesehatan jasmaniah, serta menambah lemah lembut dan kehalusan budi pekerti dan akhlak.
Hadits Qudsi tersebut memberikan petunjuk dan bimbingan kepada orang yang bershaum, untuk melaksanakan adab dan tata cara bershaum yang ikhlash dan bernilai tinggi.
a) Memelinara lidah dan anggota badan lainnya dari perbuatan dan tindakan yang tidak semestinya dilakukan oleh orang yang sering beribadaht seperti : Mengucapkan kata-kata kotor, mencela, memaki, memfitnah dan sebagainya.
b) Menjaga diri jangan sampai terlibat dalam satu pertengkaran apalagi perkelahian. Apabila tanpa disengaja telibat dalam perkelahian, hendaknya ia segera ingat dan mengingatkan orang lain dengan baik, bahwa dirinya sedang bershaum (puasa). Shaum yang baik memerlukan adab sopan santun dan tatakrama serta khusyu’ atau tawadlu’, ketenangan serta ketentraman bathin.
c) Hendaknya yang bershaum (puasa) menjaga diri dengan sepenuh daya dan upaya agar shaumnya benar-benar bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tapi justru shaum dalam arti menahan diri dari hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala dan di ridhai-Nya.
d) Kedudukan orang yang bershaum (puasa) itu tinggi nilainya di sisi Allah Ta’ala. Mulut orang yang bershaum, akibat perut tidak terisi (kosong) dan mulut sering tertutup karena kurang berbicara ketika bershaum, mempunyai kedudukan yang khusus di sisi Allah Ta’ala. Kelak di yaumil akhir baunya lebih wangi dari kesturi. Tidak semua yang tidak disenangi manusia tidak berfaedah kadang-kadang sesuatu yang dianggap enteng dan remeh, namun di sisi Allah Ta’ala baik dan utama.
e) Orang yang shaum (puasa), mempunyai dua kegembiraan, kegembiraan didunia dan kegembiraan diakhirat. Kegembiraan didunia terjadi ketika berbuka shaum (puasa) dan ketika selesai ibadaht shaum, diwaktu ‘Idhul Fitri. Pada sa’at itu ia merasa gembira karena Allah Ta’ala memberinya taufiq untuk dapat menunaikan ibadaht suci karena telah dapat menyelesaikan ibadaht itu dengan sempurna dan karena telah lulus dari segala yang membatalkan atas ibadaht itu, terutama pada sa’at melaksanakan shaum (puasa) pada siang hari. Kemudian kegembiraannya diakhirat, ialah ketika bertemu dengan Allah Ta’ala, ketika ia mengetahui bahwa tha’at dan ibadahtnya diterima dan ketika menerima balasan dan pahala yang telah dijanjikan-Nya.
Selain Hadits Qudsi diatas terdapat pula beberapa riwayat Hadits Qudsi lainnya yang ma’nanya senada. Untuk melengkapi satu sama lain, dapat di nukilkan beberapa hadits yang perlu diketahui dan diantaranya ada sabda Nabi Muhammad s.a.w. yang berbunyi : “Demi Allah yang diriku dalam genggamannya” dan seterusnya.
“Al hhasanatu ‘asy-run wa aziydu was-saiyyi-atu wa hhidatun wam-hhuhaa wash-shaumuli wa-anaa aj-zibihi ash-shaumu junnatun min ‘adzaa billahi kamijan-nissila-hhin minas-saifi.”
“Satu kebajikan (digandakan menjadi) sepuluh dan akan Kutambah (lagi), dan satu kejahatan akan Kuhapuskan. Shaum itu untuk-Ku dan kepunyaan-Ku dan Aku sendirilah yang membalasnya, dan shaum itu penghadang dan perisai dari syiksa Allah, bagaikan tameng senjata dari serangan pedang.” (HQR. Baghawi).
“Ash-shiyamu junnatun yastajin-nu bihal-‘abdu minan-nari wahuwali wa-anaa aj-zibihi.”
“Shaum itu adalah tameng yang dengannya seorang hamba terlindung dari api neraka, dan shaum itu bagi-Ku dan Akulah yang akan (langsung) membalasnya.” (HQR. Ahmad dan Baihaqi yang bersumber dari Jabir bin Abdillah r.a.).
Di sa’at bershaum (puasa) hendaknya menghindari shifat-shifat mengotori lidah dengan kata-kata yang tidak pantas didengar atau perbuatan yang sia-sia. Dan banyak Hadits Nabi Muhammad s.a.w. yang menerangkan hal tersebut, antara lain di nukilkan Hadits yang sebagaimana Hadits Qudsi diatas :
“Manlam yada’ qaulaz-zuri wal-‘amala bihi falaysa lillahi hhajatun fi-‘an yada’a tha’aa mahu wasyara bahu.”
“Barang siapa yang tidak mau meninggalkan perkataan palsu dan perbuatan palsu, Allah tidak akan memperdulikan amal perbuatan ketika ketika meninggalkan makan minumnya (shaum).” (HR. Ahmad bin Hambal, Bukhari, Abu Dawud Tirmidzi dan Ibnu Majah yang bersumber dari Abi Hurairah).
“Walay sash-shaimu minal ak-li wasy-syurbi innamash-shiyamu minal-larghwi warrafa-tsi wa-insab-baka ahhadun auw jahila ‘alayka faqul inniy shaimu inni shaimu.”
“Bukanlah orang beriman itu hanya bershaum (puasa) dari makan minum saja, tetapi juga dari omong kosong dan kotor. Jika ada yang memaki-makimu atau berbuat kurang ajar padamu, ucapkanlah aku sedang bershaum (puasa), sungguh aku sedang bershaum”.
“Rubba shaimin labsalahu min shiyamihi illalju-‘u wa rubba qa-imin laysalahu min qiyaa mihil-las-saharu.”
“Banyak orang yang bershaum yang tidak dapat bagian (pahala), hanyalah lapar belaka, dan banyak pula orang berjaga malam (untuk shalaht dan dzikir) yang tidak mendapatkan bagian (pahala) dari berjaganya itu kecuali hanyalah (kelelahan) berjaga-jaaga itu saja.” (HR. Ibnu Majah yang bersumber dari Abi Hurairah).
Islam telah menempatkan kedudukan “shaum” (puasa) pada tempat yang tinggi, termasuk dalam katagori rukun Islam yang lima karena shaum merupakan pendidikan perorangan atau individu yang buahnya dapat dipetik oleh manusia, terjelma dalam bentuk manusia yang penuh kasih sayang, penuh shifat gotong royong dan didikasih yang tinggi, hingga membawa kerukunan dan kedamaian. Karena itulah Nabi Muhammad s.a.w. senantiasa mendorong dengan berita-berita gembira kepada setiap umat Islam untuk melakukan ibadaht shaum. Ada beberapa Hadits targhib (Hadits yang menggalakkan shaum).
“Idzaa dakhala ramadhana futi-hhat ab-waabul-jannati wa-rghuliqat ab-waa bujuhannahuma wasulsilatisy-syayaa-thiynu”.
“Apabila sudah masuk bulan ramadhan, dibukalah semua pintu surga, ditutup rapatlah semua pintu neuraka dan dibelenggulah semua syaithan”.
“Fil jannati tsamaa niyatu abwaabin minhaa babun yusayyar-rayyana laa-yad khuluhu illash-shaimuna”.
“Di surga terdapat delapan pintu, di antaranya ada pintu yang bernama Rayyan. Tidak diperkenankan memasukinya kecuali orang-orang yang bershaum”.
(HR. Bukhari dari Sahl bin Sad).
“Man shaama syahra ramadhaana iyamaanan wahhtisaaban rghurghira lahuma taqaddama min dzanbihi waman qaama laylatal-qadri iymaanan wahh-tisaaban rghurghira lahu min dzanbihi”.
“Barang siapa yang melakukan shaum (puasa) dibulan ramadhan semata-mata karena iman dan mengharafkan ridha Allah, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barang siapa yang bangun malam (untuk shalaht dan dzikir) pada malam Qadar, semata-mata karena iman dan mengharaf ridha Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.
“Ra-rghima anfu rajulin dakhala ‘alayhi ramadhanu fansalakha qabla an-yurgh-faralahu”.
“Alangkah kecewanya orang yang sejak tiba bulan ramadhan hingga habis bulan tidak diberi ampunan”.
Orang yang seperti itu akan menyesal karena melalaikan ibadaht dalam bulan Ramadhan atau shaumnya hampa, sehingga tidak mendapat rahmat dan karunia ampunan dari Allah Ta’ala.
“Maa lataa ‘alal muslimiyna syahrun khayrun lahum min ramadhana”.
“Tidak ada bulan yang lebih baik dari bulan Ramadhan bagi Kaum Muslimin”.
“Ash-shalawatul-khamsa wal-jumu’atu ilal jumu’ati waramadhanu ilaa ramadhana muka-rghir-ratun limaa baynahunna idzaj-tunibatil-kaba-iru”.
“Orang yang berbuat dosa di antara waktu shalaht fardhu yang lima, shalaht Jum’at sehingga Jum’at berikutnya dan bulan Ramadhan hingga bulan Ramadhan berikutnya, akan dihapuskan dosa-dosanya apabila ia melakukan ibadaht tersebut dan menjauhkan diri dari perbuatan dosa-dosa besar”. (HR. Bukhari).
Memperhatikan Hadits-hadits tersebut sepatutnyalah mentha’ati dan bersungguh-sungguh melakukan ibadaht shaum (puasa) Ramadhan dengan tulus dan ikhlash dan penuh harapan rahmat dan ridha Allah Ta’ala. Amin Yaa Rabbal Alamin.