Perbaikan Jiwa dan Budi.
Akhlak dalam Kesabaran.
Salah satu dari pada shifat-shifat yang sangat dianjurkan
para mutashawwifin itu mitsalnya ialah sabar. Imam Al Ghazali menerangkan bahwa
sabar itu adalah bawaan daripada sesuatu pengertian yang yaqin. Dan membedakan
beberapa nama yang diberikan kepada sabar. Maka ma’na {nama} dari sabar terbagi
beberapa bagian :
· Pertama : Sabar ‘Iffah. yaitu : Jika itu ditujukan untukmenahan nafsu perut dan nafsu keinginan bersetubuh
· Kedua : Sabar Dhabtun nafs. Yaitu : Jika ditujukan untuk menahan keserakahan kaya
· Ketiga : Sabar Syaja’ah Yaitu: Jika ditujukan dalam peperangan untuk mencari kemenangan
· Keempat: Sabar Hilm. Yaitu : Jika ditujukan untuk menahan amarah dan kesal.
· Kelima : Sabar Si’atus sadar. Yaitu: Jika ditujukan kepada sesuatu penghinaan atau kecaman
· Keenam : Sabar Kitmanus sir. Yaitu: Jika ditujukan kepada merahasiakan sesuatu hal
· Ketujuh: Sabar Zuhud. Yaitu: Jika ditujukan untuk meninggikan kehidupan
· Kedelapan: Sabar Qina’ah. Yaitu: Jika ditujukan kepada menerima taqdir sebagaimana yang ada.
· Kedua : Sabar Dhabtun nafs. Yaitu : Jika ditujukan untuk menahan keserakahan kaya
· Ketiga : Sabar Syaja’ah Yaitu: Jika ditujukan dalam peperangan untuk mencari kemenangan
· Keempat: Sabar Hilm. Yaitu : Jika ditujukan untuk menahan amarah dan kesal.
· Kelima : Sabar Si’atus sadar. Yaitu: Jika ditujukan kepada sesuatu penghinaan atau kecaman
· Keenam : Sabar Kitmanus sir. Yaitu: Jika ditujukan kepada merahasiakan sesuatu hal
· Ketujuh: Sabar Zuhud. Yaitu: Jika ditujukan untuk meninggikan kehidupan
· Kedelapan: Sabar Qina’ah. Yaitu: Jika ditujukan kepada menerima taqdir sebagaimana yang ada.
Ketha’atan menghendaki sabar, karena manusia yang
tersendiri menghendaki lebih banyak pengawasan atas dirinya dalam mengerjakan
ibadaht. Maka sabar tentang ketha’atan itu mempunyai (3) tiga keadaan :
· Pertama : Sabar sebelum tha’at, seperti mengukuhkan
niat dan ikhlash
menahan diri daripada semua gerak-gerik yang dapat membawa
kepadanya, membulatkan tekad dan tujuan.
menahan diri daripada semua gerak-gerik yang dapat membawa
kepadanya, membulatkan tekad dan tujuan.
·
Kedua : Sabar pada waktu mengerjakan suatu amal,
dilakukan dengan
penuh kesungguhan sampai selesai.
penuh kesungguhan sampai selesai.
· Ketiga : Sabar sesudah selesai mengerjakan amal
itu, di antara lain tidak
merasa bangga dan menampak-nampakkan kepada orang, sehingga
orang lain melihatnya dengan penuh keheranan.
merasa bangga dan menampak-nampakkan kepada orang, sehingga
orang lain melihatnya dengan penuh keheranan.
Sabar itu dikerjakan demikian rupa sehingga menjadi hal
lazim di dalam keseharian. Terutama dalam menghadapi sesuatu kejahatan yang
ringan dan mudah dikerjakan, sabar itu menjadi lebih berat shifatnya, seperti
sabar tentang dosa-dosa yang dapat dengan mudah dilancarkan lidah, seperti
mengupat, berdusta, bertengkar (saling bantah-membantah), memuji-muji diri
sendiri dan megemukakan jasa-jasa yang dikerjakan, baik untuk berbangga atau
untuk mengadakan sesuatu perbandingan dengan orang lain, berkelekar, yang dapat
menjadikan penyakit untuk hati. Sabar itu dapat dihasilkan hanya dengan menekan
hawa nafsu dan membangkitkan kesungguhan kepada Agama. Melemhkan hawa nafsu itu
dikerjakan dengan mengurangi keperluan kebendaannya, menghilangkan sebab-sebabnya,
dan mengekang diri apa yang diingini. Kesungguhan pada Agama dapat dibangkitkan
dengan memperbanyak ibadaht, dengan berfikir dan merenungkan critera-ceritera
mengenai sabar dan akibat-akibatnya.
Di dalam Al Qur’an banyak sekali terdapat ayat-ayat
tentang sabar yang ditujukan sebagai nasehat dalam bermacam-macam keadaan. Di
antara lain Allah Ta’ala berfirman : “Wahai
sekalian orang beriman, perbesar sabar dan nasehat-nasehatilah antaramu dengan
sabar”. Katanya pula : “Kami coba dirimu dengan mendatangkan
ketakutan, kelaparan kekurangan harta benda, kematian, dan kekurangan
buah-buahan, tetapi akan Kami gembirakan kemudian orang-orang yang sabar!”
Katanya lagi : “Minta tolonglah kamu dengan sabar dan
dengan sembahyang, karena Tuhan itu selalu ada dekat mereka yang sabar”.
Ibn Mas’ud mennceritakan, bahwa sesudah peperangan
Hanaian Rasulullah s.a.w. membagi-bagikan harta rampasan, di antaranya kepada
Ibn Akra’ habis seratus ekor unta, begitu juga kepada Uyaynah seratus ekor
unta, sebagaimana kepada orang-orang bangsawan Arab. Pembagian yang mewah ini
menimbulkan iri hati orang-orang Anshar, yang lalu mengeritik perbuatan Nabi
s.a.w. yang dikatakan tidak adil. Tatkala kecaman ini disampaikan oleh Ibn
Mas’uud kepada Nabi s.a.w. berubahlah matanya seketika menjadi marah, seraya
katanya:
“Jikalau
aku dikatakan tidak adil, maka siapa lagi yang dinamakan adil itu. Muda-mudahan
Allah memberikan rahmat kepada Nabi Musa
a.s, yang menderita lebih banyak dari pada pengikut-pengikutnya yang bodoh dan
dungu, sedang ia terus-menerus sabar “. Begitu juga Nabi s.a.w. pernah
mengatakan bahwa : Besar sesuatu ganjaran Tuhan bergantung kepada besarnya bala
yang diturunkan kepada seseorang, karena jika Tuhan mencintai sesorang akan menurunkan ujian kepadanya, jika orang itu
ikhlash menderita, maka Allah Ta’ala pun ikhlash padanya.
Dan bagi orang-orang mutashawwifin diwajibkan mitsalnya
benar, jujur dan terusterang dalam pemikiran, perkataan dan perbuatannya.
Keadaan itu dalam istilah mutashawwifin disebut “sadaq”, dan orang yang bershifat demikian bernama
“siddiq”. Karena Islam mewajibkan dan tidak
memperbolehkan ummatnya untuk berdusta, tidak jujur, atau tidak benar dalam
perkataan dan perbuatannya. Dan jika di lihat perbaikan akhlak secara keshufian
itu, sebagai contoh suatu cara yang umum, yang dinamakan takhali, tahalli dan
tajalli. Dengan riyadhah, kepada ma’rifahtullah. Dari muslim kepada mu’min,
kepada shiddiqin, shalihin, mutahaqqiqin.
0 komentar:
Post a Comment