S a f a r dan K a s y a f.
Salah satu
shifat orang mutashawwifin ialah melakukan {safar}, konon karena ini pun banyak terjadi pada diri Rasulullah s.a.w. Mereka melihat
dalam safar itu suatu amal yang baik. Safar artinya keluar dari tempat tinggal dan mengembara,
sebaliknya dari {Iqamah}, yang berarti mengambil sesuatu tempat tinggal yang tetap.
Ada di antara
mereka yang memilih iqamah dan tidak safar kecuali untuk kepentingan Islam,
seperti Al Junaid, Sahl bin Abdullah, Abu Yazid
Al Busthami dan Abu Jafar, ada di antara mereka yang mengutamakan safar sampai
wafatnya, seperti Abu Abdullah Al Maghrabi dan Ibrahim bin Adham, dan ada pula yang melakukan safar pada waktu mudanya di
kala permulaan hal dan menetap dikala tuanya, seperti Asy Syibli, Abu Utsman Al Hiri, masing-masing ada alasannya yang menjadi dasar
thariqahtnya. Mereka yang lebih mengutamakan safar dari pada iqamah berpendirian, bahwa di dalam safar itu
dapat ditambah riyadhah dalam keadaan
sepi terlepas daripada hubungan dengan manusia, sekali-kali tidak dengan niat
untuk mempergunakan rukhsah dalam ibadaht yang berkenan dikala safar itu. Ada yang
berpendapat bahwa yang dinamakan safar itu ialah safar dalam arti mengelakkan
diri dari shifat-shifat yang buruk yang terdapat dalam kalangan manusia.
Adapun Safar terbagi atas (2) dua bahagian :
1). Pertama : Safar bil badan, yaitu mengembara dengan badan, yaitu pindah dari satu
tempat ke tempat yang lain.
2). Kedua : Safar bil Qalb, yaitu mengembara
dengan hati, yaitu pindah dari satu shifat kepada yang lebih baik.
Yang pertama acapkali dinamakan safar bumi dan yang kedua
disebut safar langit. Dan saja seperti yang kedua sedikit sekali dikerjakan
orang.
Malik bin Dinar berkata : “Tuhan
mewahyukan kepada Musa a.s. untuk melakukan safar, maka Nabi Musa a.s. pun
memakai sepatu besi, tongkat besi dan mengembara di bumi mencari kebenaran.”
Pada suatu kali orang bertanya sesuatu nasehat kepada
Muhammad Al Kiyani, lalu tokoh besar shufi itu mengatakan : “Coba
bersungguh-sungguh setiap malam kamu menjadi tamu mesjid dan jangan mati
kecuali di antara dua tempat.”
Jika fahamkan dari perkataannya, bahwa menjadi tamu
mesjid sebagai tempat ibadaht shalaht,
{sembahyang}, jika tidak
demikian, tidak ada hubungan nasehatnya itu dengan safar, Abu Abdullah
An-Nasibi berkata : “Aku melakukan safar selama tiga tahun, dan selama itu
aku tidak menjahit pakaian yang sobek-sobek, aku tidak pernah mendatangi
sesuatu tempat temanku untuk menumpang, dan aku tidak pernah menyuruh
mengangkat barang-barangku oleh seorangpun.”
Diriwayatkan,
bahwa Rasulullah s.a.w. apabila sudah siap duduk di atas keledai yang akan membawa
musafir, beliau selalu bertakbir tiga kali, kemudian beliau membaca doa’-do’a
yang tertentu safar, begitu pula do’a-do’a tertentu sesudah kembali pulang.
K a s y a f
Kasyaf artinya terbuka dinding antara hamba dengan Tuhannya.
Para ahli mutashawwifin atau ahli ilmu
tariqaht menyebutkan
untuk mencapai akan mukasyafah
{kasyaf} ada (4) empat dinding yang membatasi
antara Khaliq dan makhluq-Nya, antara Tuhan dengan hamba-Nya, dan juga ada (4)
empat jalan untuk mencapai (membuka) dinding itu.
1). Pertama : Dinding antara manusia dengan Allah Ta’ala dikatakan
manusia itu berkekalan bernajis besar dan berhadats kecil. Keadaan ini
merupakan yang membatasi manusia dengan Tuhannya. Supaya dinding ini terbuka
hendaknya manusia itu berada dalam keadaan selalu suci dari pada hadats besar
dan hadats kecil, suci pakaiannya, suci tempat kediamannya dari pada najis
besar dan najis kecil sebagaimana hukumnya diterangkan dalam ilmu Fiqih atau
ilmu Syari’aht.
2). Kedua : Dinding yang membatasi antara manusia dengan Allah Ta’ala
ialah anggauta manusia yang lahir berkekalan menjalankan haram dan makhruh.
Untuk membuka dinding kedua ini di-tunjukkan jalan supaya anggauta lahir ini,
yaitu : Mata, Telinga, Mulut, Hidung, Tangan, Kaki, Kemaluan, Perut {faraj},
menghentikan pekerjaan haram dan makhruh {makhsiat dan sia-sia} dan senantiasa
berkekalan mengerjakan yang wajib-wajib dan sunnat-sunnat sebagaimana yang
diperintahkan dalam syara’.
3). Ketiga : Dinding tersebut, yaitu Hati manusia itu berkekalan
bershifat yang dicela oleh syara’. Kunci pembukanya ialah meninggalkan segala
shifat-shifat hati yang tercela oleh syara’ itu dengan ilmu dan amal, setelah
diletakkan shifat-shifat yang terpuji oleh syara’, yang selalu terdapat di
dalam kandungan hati, di sebut : Hawa nafsu. Dunia. Syetan. Jahil. Lalai.
Munafiq. Kafir. Hasad. Ria. Ujub. Sam’ah. Panjang angan-angan. Loba. Tama’, dan
lain-lain shifat yang jelek. Sebagai shifat yang terpuji yang harus di tanamkan
di dalam hati, sesudah hati itu bersih yaitu: Iman. Islam. Tauhid. Khusyu’.
Tadharu’. Pengasih. Penyantun. Ramah hati. Qana’ah. Berani. Dan banyak lagi
jalan-jalan menuju ke tha’atan.
4). Keempat : Sebagai dinding yang terakhir antara manusia dengan
Tuhannya di sebutkan : Kalau hati lalai kepada selain Allah Ta’ala, mitsalnya
terpesona oleh dunia, harta benda dan makhluq yang lain. Maka agar terbuka
dinding ini, ilmu tashawwuf menerangkan, bahwa hendaklah di singkirkan dari
dalam hati itu segala yang lain dari pada Allah Ta’ala, dengan lain perkataan
yang ada tetap dalam hati itu hanya mengingat Allah Jalla wa azza, {Dzikrillah}
atau ma’rifaht Allah Ta’ala yang berkepanjangan.
Di dalam ilmu thariqaht memberi jalan, apa yang harus
dikerjakan oleh hamba Allah, setelah dinding terbuka untuk menghampirkan diri
kepada Allah Ta’ala. Maka untuk hal ini ada (4) empat jalan yang harus ditempuh
: 1). Syari’aht. 2). Thariqaht. 3). Haqiqaht. 4). Ma’rifaht. Syari’aht itu di mitsalkan seperti laut. Thariqaht itu seperti sampan. Haqiqaht itu seperti mutiari yang terletak di dalam laut. Dan Ma’rifaht itu seperti
memakai cicin mutiara yang dihajatkan dan dikejar-kejar itu.
Banyaklah perumpamaan yang di dapati untuk menerangkan empat tingkat ilmu dan amal itu. Akan tetapi
mengerjakan syari’aht itu di artikan mengerjakan amal badaniyah dari pada segala
hukum-hukum shalaht, puasa, zakat dan haji.
Sebagaiman firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an :
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al Qur’an dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu : maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. Untuk tiap-tiap ummat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu ummat
(saja) tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisiankan
itu.” {QS. Al Maa’idah.
48}
Jalan yang di artikan thriqaht sebagaimana sewaktu Allah
Ta’ala memerintahkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. di dalam Al Qur’an :
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.” {QS, An Nahl. 125}
“Wa allawis taqaamuu ‘alaath-thariqahti
la-asqainaahumm-maa an ghadaqan.”
“Dan bahwasanya : jikalau mereka tetap berjalan lurus di
atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka
air yang segar (rizki yang banyak).” {QS. Al Jin. 16}
0 komentar:
Post a Comment