Syariaht.
Sebagai salah satu
dari tiga unsur yang
harus ditempuh dalam bertashawwuf untuk mencapai tujuan, maka
apakah bisa syariat
dikompromikan dengan tashawwuf bila
kita hubungkan dengan keterangan–keterangan yang
menyatakan adanya :
1)
Perkataan dan tuduhan
orang–orang syariat kepada orang – orang shufi
bahwa orang – orang shufi keluar
dari Islam.
2)
Sebagian orang shufi meninggalkan syariat bahkan tidak
mengindahkan
lagi terhadap syara’.
Diantara
perkataan dan tuduhan
orang – orang syariat
terhadap orang–orang shufi bahwa orang shufi keluar
dari Islam ialah serangan Ibn Abdus Salam terhadap Ibn Arabi,
dan beliau menuduhkan sebagai seorang zindik yang terlepas dari pada paham
Islam yang benar. Bagaimanakah reaksi
golongan mutashawwifin yang
dikatakan dan dituduh menyimpang dari syara’,
benarkah (mereka) keluar dari syara’ .
Orang–orang mutashawwifin
tidak menerima atas segala tuduhan, dengan jawaban bahwasanya ajaran mereka
tidak lepas dari kitab dan sunnah,
bahkan diantara mereka ada yang memproklamirkan bahwa barang siapa
melakukan sesuatu (beramal) tanpa
mengikuti jejak Rasulullah s.a.w, maka batallah amalnya.
Demikianlah pernyataan mereka bahkan ada lagi yang lebih
keras dari pada itu yang kasemuanya adalah berkesimpulan bahwa mereka kaum mutashawwifin tidak lepas dari syara’ dalam melakukan madzhab shufinya. Dan lebih
tegas lagi pernyataan mereka sebagai jawaban atas segala tuduhan orang ahli syariat.
“Yaquulul-junaidu saiyyidush-shufiyyatu wa
imaa muhum : madzhabuna haadza muqaiyyadun bi-ushulil-kitaabi wassuttati
wayaquulu aiydhan : man lam yahafzhil-qur-aana
walam yaktubil-hadiitsa laayuq taday-bihi fii haadzal-amri. Li-annahadza muqayyadun bilkitaabi wassannati.”
“Berkata Djunaidi ; pemimpin kaum shufiah
: ajaran – ajaranku ini diikat kuat dengan kitab dan sunnah.
Dan beliau berkata lagi : barang siapa yang tidak menjaga Al-Qur’an
dan tidak menurut
Hadits, maka ia tidak boleh diikuti dalam urusan ini ( tashawwuf ) sebab
ilmu kami ini diikat dengan kitab dan sunnah.”
Dari kesan dan kesimpulan diatas bisa diambil pelajaran bahwasanya
janganlah mempermudah untuk melontarkan tuduhan bahwa orang shufi itu keluar dari syariat dan harus bisa membedakan antara shufi yang haqiqi dengan
shufi yang mengaku–ngaku saja. Hal ini kiranya
sesuai benar dengan yang dikata Ibn Taimiyah tentang orang-orang shufi yang
menurut beliau ada tiga, yaitu shufi haqiqi, shufi rizqi, dan shufi bentuk lahir atau shufi ( nama saja ).
Apakah syariat
itu.
Secara
bahasa syariat adalah dari syara’-‘a-yasrau. Sedangkansyara’ mengandung beberapa arti yang dapat diketahui
(dipahami).
1)
Pertama : “Syara ‘alahumulth-thariiqata- aiy nahajahu
wa-azhrahu”.
“memberikan jalan kepada mereka atau
menjelaskan jalan jalannya.”
2)
Kedua
: “Syara
‘allahu lana kadza bisyar ‘ihi- aiy azh-‘arahu wawa dhahahu”.
“Allah telah mensyariatkan
tentang ini dengan syara’Nya, artinya Allah telah memberikan dan menjelaskan ini
kepada kami”.
3)
Ketiga : “Syara ‘a
lilqaumi-aiy sanna syariai ‘atin”.
“Dan
Allah telah menjadikan hukum untuk umatnya”.
Dari ketiga arti kata syara‘a inilah, maka syariat adalah dari kata syaraa
yang mempunyai “muradif
sanna”. Oleh karena itu dikatakan :
“Asyarii ‘atu aiyis-sannatu : maa syara ’allahu li
‘ibadihi minas-sunani wall-ahkami”.
“Syariat adalah aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan (sesuatu yang telah dibuat ketetapan oleh Allah Ta’ala untuk
hambanya, baik berupa peraturan atau hukum”.
Dengan kata lain syariat bisa diartikan peraturan-peraturan yang mencakup termasuk
didalamnya soal-soal wajib,
sunnah, haram, makhruh, mubah.
Jadi hukum syara’ adalah
berhubungan dengan perintah-perintah dan larangan-laranngan Agama. Masuk dalam syariat segala amalan-amalan zhahir
seperti shalat, zakat,
puasa, haji, jihad fii sabilillah juga hukum-hukum
bidang ekonomi, sosial,
tata-tertib manusia
kepada manusia, dan sebagainya.
Syariat bagi
kaum mutashawwifin tidak bisa
ditinggalkan. Syariat adalah salah satu unsur yang harus di laksanakan bahkan
merupakan hal yang pokok bagi yang lain.
Antara syariat dengan haqiqat
adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan bagi orang yang hidup bertashawwuf, satu sama lain saling berpautan oleh
karena itulah kaum mutashawwifin berkata :
“Innal-haqiiqahta bilaa
syarii ‘ahtin baa-thilatun wasy-syarii-‘ahtu bilaa haqiiqatin
‘aa-thilatun”.
“Sesungguhnya haqiiqaht tanpa syarii‘aht
adalah batal dan syarii’aht tanpa haqiiqaht adalah tidak diterima”.
Dan
Imam Al-Ghazali mengatakan tentang hal ini :
“Man qaala : “Innal-haqiiqahta tukhalifusy-syarii ‘ahta wal-baathinu
yukhaa lifuzh-zhahiri fahuwa
ilal kufri aqrabu”.
“Orang yang mengatakan bahwa haqiiqaht
berlawanan dengan syarii ‘aht, dan bagian bathin (agama) bertentangan dengan bagian zhahir, telah hampirlah dia
kepada kekafiran”.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut maka bisa diambil pengertiannya sebagai berikut :
1)
Syarii ‘aht
adalah salah satu unsur yang harus dilaksanakan dalam hidup bertashawwuf.
2)
Syarii ‘aht dan haqiqaht adalah saling
berhubungan erat dan saling terkait.
3)
Barang siapa yang meninggalkan
syarii ‘aht dalam bertashawwuf dengan alasan apa
saja, maka bukan saja
ketidak shalihan,
tetapi malah ada didalam
kekafiran yang nyata.
0 komentar:
Post a Comment