Psychologia.
Dalam kamus populer psychologia
artinya apa yang bersamgkutan dengan jiwa. Adapun yang dimaksud psychologia sebagai unsur dalam pembahasan isi tashawwuf adalah introspeksi pada diri sendiri atau muhasabah linafsih. Untuk mengenal akan kebesaran Tuhan maka
manusia harus mengenal makhluk Allah,
khususnya dirinya sendiri dengan mengajukan pertanyaan :
a. Siapakah saya ?
b. Dari
manakah asalnya ?
c. Apakah gunanya atau tugasnya ?
d. Akan
kemana akhirnya ?
Dengan menggunakan
empat pertanyaan tersebut, maka manusia akan merasa bahwa dirinya sangat
kecil tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, dan selanjutnya akan mengenal bahwa Tuhanlah yang maha besar yang memberi kehidupan serta berkuasa diatas segala makhluknya.
Tentang
introspeksi dan pengapatan terhadap alam ini untuk mengenal akan keesaan
dan kekuasaan Allah, maka Allah telah memperingatkan kepada kita
sebagai berikut :
“Wafil-ardhi
aayaa-tun lilmuu qiniyna wafii anfusikum
afalaa tubshiru-na.’’
“Dan dibumi itu terdapat tanda-tanda ( kekuasaan Allah ) bagi
orang-orang yang yaqin. Dan (juga) pada
dirimu sendiri, maka apakah kamu tiada memperhatikan.’’ (QS.
Adz-dzaariyaat 20-21).
Dalam penafsiran
tersebut diatas bisa maknakan bahwa didalam diri kita sekalian ada tanda-tanda
yang menunjukkan atas keesaan dan kekuasaan Allah sebab tiada sesuatupun
didalam alam ini dan diri kita kecuali baginya sama. Untuk lebih tertib dan
jelasnya maka akan diuraikan jawaban dari empat pertanyaan tersebut diatas.
a. Siapakah saya ?
Saya adalah
makhluk Tuhan, ciptaanNya, saya wujud,
wujud saya pasti ada yang mewujudkan. Sungguh sangat mustahil saya ada tanpa
ada yang mengadakan, mustahil hidup tanpa
ada yang menghidupkan. Dan Allah mempunyai
iradaht dan qudraht yang haqiqi untuk
menciptakan manusia.
“Innamaa
amruhu dzaa-arada syaiy-an an-yaquu-lalahu kun-fayaqun.’’
“Sesungguhnya
keadaanNya apabila
Dia menghendaki
sesuatu hanyalah
berkata “jadilah’’ maka terjadilah ia.’’ (QS. Yaasiin 82).
Inti sari dalil tersebut ialah semua perkara yang wujud tentu ada yang mengadakannya, karena kita melihat semua wujud dari wujud-wujud tersebut bergantung kepada lainnya, dan yang lain inipun terlihat bergantung kepada wujud yang lain lagi dengan tidak mengetahui adanya kemestian yang mengharuskan wujudnya karena dirinya sendiri. Dan sesungguhnya semua itu akan kembali kepada, keesaan dan kekuasaan Allah Ta’ala, yang memulakan dari segala wujud yang ada, dan takluk akan kehendakNya dan ketentuanNya.
b. Dari
mana saya.
Manusia adalah terjadi dari tanah, suatu ciptaan Tuhan yang rendah dibandingkan dengan yang lain. Untuk itu sangat memalukanlah apabila manusia berlaku sombong diatas bumi ini karena tidak mengingat kejadiannya.
“Minhaa khalaqnaa-kum wafii-haa nu ‘iydukum waminhaa nukh-ri jukum taa-ratan ukh-raa.’’
“Dari bumi ( tanah ) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan dari padanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.’’ (QS. Thaha. 55).
Jika manusia terjadi dari segumpal tanah maka menjadi keharusan untuk merendahkan dirinya, apa lagi kalau dikatakan bahwa manusia bermula terciptanya dari air nutfah (hubungan kedua orang tua) maka ia sudah seharusnya merendahkan diri sesama manusia apa lagi terhadap Allah Ta’ala yang menciptakannya.
“Qaa lallah
ta’ala: ‘’Qutilaa insaa-nu maa-akfaru.
min aiyi syaiy-in khalaqahu min
nuthfatin khalaqahu faqad-darahu.’’
“Binasalah
manusia: alangkah amat kekafirannya dari apakah Allah menciptakannya ? dari
setetes mani Allah menciptakannya lalu
menentukannya.’’ ( QS. Abasa. 17-19 )
Sehubungan dengan ayat tersebut Imam Nawawi Al-Jawi dalam
tafsirnya mengatakan bahwa istifham lafadz min
ayyi syaiin khalaqahu adalah istifham
taqriri fittahqir
artinya menetapkan kehinaan
manusia. Jadi hal ini adalah merupakan peringatan Allah terhadap manusia untuk
mengintrospeksi dirinya dari manakah ia dijadikan oleh Allah Ta’ala.
Dalam introspeksi ini manusia harus selalu melihat dan
mengawasi serta mengendalikan bagian-bagian yang penting dari organ-organ
ruhani yang ada padanya yaitu: ‘aqal, nafsu, dan ruh. Sebagaimana yang telah digambarkan oleh Imam Al-Qusyairi dalam
kitab Risalah dan Imam
Al-Ghazali dalam kitabnya
Ihya Ulumiddin. Dalam
uraiannya beliau mengatakan :
“Fil-insaani
arba-’un quwan tata-allafu minhaa thabii-‘atuhu min haitsu huwa ka-inun hayyun hassaa-sun ‘aa-qilun
wahiyan-nafsu war-ruuhu wal-qalbu
wal-‘aqlu. Amman-nafsu fahiya syarrun
mahdhun li-annahaa markazusy-syahawati wadzatajibu
muhaa rabatuhaa bijami’i
wasa-ilizzuh-dillatiy yusammiyhash-shufiyyahu
biljihaa-di.’’
“Pada
manusia terdapat empat kekuatan yang dari padanya tersusunlah tabi’atnya dimana
adanya manusia tersebut, wujud hidup, merasakan dan ber’aqal yaitu jiwa, Ruh,
hati dan ‘aqal. Adapun hawa nafsu adalah
jelek sebab nafsu itu sebagai sumber atau pusat keinginan, oleh karenanya wajiblah
memerangi nafsu itu dengan segala perantaraan (jalan) zuhud yang oleh orang-orang
shufi disebut jihad.’’
Maka introspeksi diri sendiri dan memperbaiki nafsu buruk
pada diri manusia dengan jalan zuhud, berdzikir dan muraqabah adalah sebagai
alat yang paling baik untuk membersihkan hati dan selalu ingat kepada Allah
Ta’ala.
c. Apakah guna atau tugas manusia.
Manusia diciptakan Tuhan adalah semata-mata uantuk
beribadah kepada Allah, berbakti kepada masyarakat demi perdamaian dan
kesejahteraan umat.
Sebagaimana firman Allah :
“Wamaa
khalaqtul jinna wal-insi liya’-buduu-ni.’’
“Dan Aku
(Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu.’’ (QS. Adz-dzaariyaat 56)
“Yaa
ayyuhann su’buduu rabbakumulladzii khalaqakum
walladzina min qablikum
la’allakum tattaquun.”
‘’Hai
manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu,
agar kamu bertaqwa,’’ (QS.
Al-Baqara. 21 )
“‘Anil mughii-ratibni
syu’bata annan-nabiyya shalallahu ‘alaihi
wasallam, Shalla hatta nutafakhat qadamaa-hu faqii-la lahu atukallifu
haa-zaa waqadghafarallahu laka maa-taqaddama min dzanbika.’’
“Dari
Mughiroh bin Syu’bath bahwasanya Nabi s.a.w. mengerjakannya shalat sampai
bengkak-bengkak kedua telapak kakinya, maka
ditanyakannya : Apakah engkau menyungguhkan ini ( shalat ) padahal
Allah mengampuni dosamu
yang dahulu dan yang kemudian, maka menjawablah Rasulullah
s.a.w. tiadakah aku ini seorang hamba
yang banyak syukur”. (H.R. Muslim ).
Selain dari kedua ayat tersebut atas juga adanya hadits-hadits shahih yang menerangkan
betapa tekunnya Nabi s.a.w. beribadah
kepada Allah walaupun beliau sebagai
seorang yang {ma’shum}. Hal ini tak
lain karena beliau memahami akan tugasnya sebagai manusia dan rasa syukurnya
atas segala rahmat Allah.
Demikianlah adanya ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Al-Hadits
yang mengandung arti bahwa kewajiban manusia
kepada Allah adalah beribadah
semata-mata. Tapi hal ini bukanlah berarti manusia diciptakan Tuhan hanya untuk beribadah saja
sehinggah meninggalkan kewajiban-kewajiban
atau kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan masyarakat, individu dan
keluarga terutama dalam mencari nafkah
tiap-tiap harinya demi kesejahteraan rumah tangga sebagaimana Allah telah
mewajibkan umat manusia untuk mencari
rezki demi kesetabilan dan kebahagiaan keluarga. Tujuan seorang
muslim adalah mencari keridhaan Ilahi dengan jalan melalui keharmomisan antara jasmaniah dan ruhaniah, keseimbangan antara dunia
dan akhirat atau keserasian
antara materiil dan spirituil. Keduanya harus berjalan bersama-sama dengan
serasi. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :
“Dan carilah
apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) kampung akhirat, dan janganlah kamu melupakan
kebehagiaanmu dari (keni’matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik padamu. Dan
janganlah kamu berbuat kerusakan (dimuka) bumi. Karena sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.’’ (QS. Al-Qashash 77).
d. Akan kemana akhirnya ?
Segala sesuatu yang maujud ini akan musnah akhirnya tiada yang abadi satupun kecuali Allah Khaliqulqalam. Maka demikian pula
manusia dari tidak ada menjadi ada, dan selanjutnya akan binasa, akan kembali lagi kepada Allah sang pencipta.
“Kullu nafsin dza-iqatul mauti, wanablukum bisy-syarri
wal khairi fitnatan wa-ilainaa turja’un.’’
“Tiap-tiap yang
berjiwa akan merasakan
mati. Kami akan
menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan (yang sebenar - benarnya ) dan
kepada Kamilah kamu dikembalikan.’’ (QS. Al-Ambiya 35).
Demikianlah sekilas lintas uraian tentang manusia
dari mana ia dijadikan, tugas apa yang harus ia lakukan dan kemana ia
dikembalikan. Manusia tidak
mempunyai kekayaan apa-apa, manusia
lahir tidak membawa harta benda kembalipun dengan tangan hampa. Hanya amal yang selalu ikut serta, dan
itulah yang akan menentukan ia di hadapan Tuhan
yang Maha bijaksana masuk surga atau neraka sebagai balasan yang ia terima.
Dengan melalui empat pertanyaan
inilah seharusnya manusia sadar, dan mengakui bahwa dirinya
lemah dan hina. Bila ini telah
terasa baginya, maka
tampaklah kekuasaan dan kebesaran
Allah dihadapannya.
Untuk meningkatkan amal ibadah kepada Allah, orang-orang mutashawwifin selalu mengadakan introspeksi terhadap amal perbuatannya, apakah sudah
pantas pengabdiannya kepada Allah selaku
hambaNya yang telah diberi beberapa
kenikmatan ataukah sekurang-kurangnya sudah lebih fardhu sebab tidak ada amal yang pantas sebagai
imbangan nikmat Allah yang diberikan kepadanya walaupun amal tersebut sangat
besar menurut penilaian makhluk, ataukah setidak-tidaknya amal tersebut sudah
memenuhi perintah Allah ataukah
belum.
Dalam hal ini, muhasabatun nafsi ba’dal amal Allah telah berfirman :
“Yaa ayyuhalladzina aamanut-tattaqullaha wal tanzhur
nafsun maa-qaddamat lighadin.’’
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah
dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari
esok (akhirat).’’ (QS. Al-
Hasjr 18).
Imam Al-Ghazali dalam keterangannya tentang keutamaan introspeksi ba’dal amal, beliaupun mendasarkan uraiannya
tentang adanya keutamaan itu pada perkataan Sahabat, sayidina Umar r.a. disamping ayat Al-Qur’an diatas.
Umar r.a. berkata :
“Haa sibuu
an-fusakum qabla antuhaa sabuu wazinuhaa qabla antu zanuu.’’
“Adakanlah perhitungan terhadap dirimu sendiri sebelum
padamu diadakan hisab dan timbanglah amalmu sebelum padamu dilakukan
timbangan.’’
Demikianlah uraian psychulogia dalam tashawwuf dari empat
pertanyaan yang pada dasarnya adalah juga untuk mengikis habis sifat-sifat yang
tercela yang selalu mencengkeram kepada setiap manusia.
0 komentar:
Post a Comment