Wasilah dan Rabithah.

                                                                                     
                                                                        

Wasilah dan Rabithah
Wasilah atau tawassul acap kali didengar dalam ilmu shufi. Istilah ini yang kemudian mempunyai arti yang tertentu, pada mulanya hampir dapat diterjemahkan dengan penghubung atau hubungan, khususnya hubungan dengan guru. Kemudian diambil pula perbandingan dari kisah Nabi s.a.w. Mi’raj kelangit menemui Allah Ta’ala yang diantarkan oleh Malaikat Jibril. Pengantaran ini dianggap wasilah, sehingga dalam kalangan ahli tariqaht cerita ini lebih terkenal dengan kata-kata :
“Nabi Muhammad s.a.w hendak bertemu dengan Allah Ta’ala berwasilah kepada Malaikat Jibril. Sesampai pada Sidratul Muntaha malaikat Jibril ditinggalkan disitu, dikarenakan Nabi Muhammad s.a.w ketika itu masuk kedalam Ma’rifahtullah, Musyahadah akan Allah, yang brshifat “Laisa kamislihi syai’un”, yang tidak dapat diumpamakan dengan sesuatu benda apapun juga”.
Disini ahli tariqaht mengambil ibarat, bahwa merekapun ada baik jika berwasilah kepada guru atau pengajar pada waktu beriibadaht kepada Allah Ta’ala. Lalu istilah wasilah itu beroleh arti yang khusus baginya yaitu jalan yang menyampaikan hambanya kepada Allah Ta’ala. Seperti suatu tariqaht mengartikan haqiqaht wasilah itu tabaruk atau mengambil berkaht, sebagaimana yang dikerjakan oleh murid-murid  tariqaht itu berdo’a :
“Yaa Allah ! Aku pinta pada-Mu dengan berkaht Rasulullah s.a.w. dan dengan berkaht guruku, agar Engkau memberikan daku ma’rifaht dan cinta kasih hatiku kepada-Mu”.
Dalam hal ini tariqaht berpegang pada sebuah hadiets yang diriwayatkan oleh Bukhary, yang menceritakan bahwa Sayyidina Umar Ibnu Khaththab ketika musim kemarau, waktu kekurangan air, meminta hujan dan do’anya dimulai dengan minta berkaht Abbas bin Abdul Muthalib demikian :
“Yaa Tuhanku ! Kami dahulu selalu berdo’a kepada-Mu dengan berkaht Nabi Engkau, sekarang kami tawassul dengan bapak kecil Nabi”
Lalu hujanpun turunlah. Hadiets ini terdapat dalam shahih Bukhary, halaman (123), dalam kitab Sublus Salam, jilid II, halaman (134), dan kitab Nailul Authar, jilid II, halaman (6).
Hal ini menyatakan bagi ahli Tariqaht bahwa Sayyidina Umar pun berdo’a memakai wasilah Nabi s.a.w. dan sesudah Nabi s.a.w. wafat dengan wasilah Abbas bin Abdul Mathalib. Dengan demikian tawassul itu tidak hanya tertentu dengan Nabi s.a.w saja, bahkan boleh juga dengan Shahabat-shahabat Nabi s.a.w, Wali-wali, Ulama-ulama, kerena Ulama-ulama ituu adalah warisan para Nabi-Nabi (Hadiets Bukhary dan Muslim).
Rabithah
Mengenai Rabitha, yang artinya hubungan atau ikatan, di dalam satu pengertian dalam tariqaht terbagi (3) tiga : Pertama rabithah wajib. Kedua rabithah sunnat. Ketiga rabithah harus.
1}. Pertama : Adapun {rabithah wajib} adalah seperti yang terdapat pada waktu orang shalaht  menghadap kepada Baitullah. Menghadapkan dada dan muka ke Baitullah itu wajib hukumnya karena tidak shah shalaht jika tidak menghadap ke Ka’bah itu, padahal yang disembah bukanlah Ka’bah yang dihadapi itu, tetapi Allah Ta’ala semata-mata. Ka’bah hanya menjadi rabithah wajib.
2}. Kedua : Adapun {rabithah sunnat} namanya, seperti yang terdapat pada seseorang ma’mum, yang harus memandang kepada imamnya dalam shalaht berjama’ah. Sekali-kali tidak dimaksudkan bahwa berpaling daripada menyembah Allah Ta’ala dalam shalaht. Baik ma’mum maupun imam kedua-duanya bersama-sama menyembah Allah Ta’ala.
Seperti suatu riwayat mengenai shalaht berjama’ah dimasa Nabi Muhammad s.a.w. yang di imami oleh Rasulullah s.a.w. sendiri. Orang kafir menuduh bahwa orang Islam itu menyembah Nabi Muhammad s.a.w. karena dilihat orang gerak dan diamnya dalam shalaht. Maka seorang mu’min menjawab : “Kami tidak menyembah Nabi s.a.w. Yang kami sembah hanya Allah Ta’ala. Hanya bersama-sama Nabi Muhammad s.a.w”. Maka rabithah yang terdapat dalam shalaht berjama’ah ini rabithah sunnat namanya.
3}. Ketiga : Adapun {rabitha harus} yaitu diterangkan seperti melihat barang-barang yang baik pada waktu kita hendak mengerjakan sesuatu barang agar baik pula. Dalam kata sehari-hari : meniru mengikuti yang baik-baik. Murid diibaratkan orang yang buta yang harus mengikuti gurunya yang matanya jelas melihat. Yang dikatakan guru yang mursyid yaitu orang yang telah karam dalam laut muraqabah dan musyahadah berkekelan akan Tuhannya. Murid-murid tariqaht yang hendak mengambil rabithah diwajibkan mengetahui bekas yang majazi dan bekas yang haqiqi, dan faham pula ma’na wahdaniat yang mengandung tiga perkataan. Pertama tidak terbilang Dzat Allah Ta’ala. Kedua tidak terbilang Shifat Allah Ta’ala. Dan Ketiga Tidak memberi bekas segala perbuatan makhluq pada haqiqaht pekerjaan “Laa hawla wala quwata illa billah”, {“tiada daya dan upaya melainkan dengan kehendak Allah”}.
Haqiqaht rabithah pada ahli tariqaht ialah bersahabat atau sebanyak mungkin beserta dengan mursyid, dengan guru yang pandai-pandai, yang hatinya selalu ingat kepada Allah Ta’ala, melihat kepada orang-orang yang demikian atau kasih sayang kepada orang-orang itu, tidaklah dimaksudkan memperhambakan diri kepadanya {memperserikatkan} dia dengan Allah Ta’ala.

0 komentar: