Hukum ‘Adiy.
Artinya hukum ‘adiy yaitu, menetapkan suatu barang bagi suatu
barang, atau menafikan suatu barang pada suatu barang dengan lantaran berulang-ulang
serta shah bersalahan, dan juga dengan tiada memberi bekas salah suatu itu
pada yang lain. Maka terbagi hukum ‘adiy atas (empat perkara) yang
tersebut dibawah ini.
1.
Pertambatan keadaan suatu barang dengan keadaan suatu
barang lainnya, seumpama : Keadaan kenyang dengan keadaan makan.
2. Pertambatan ketiadaan suatu barang dengan ketiadaan suatu
barang lainnya, seumpama : Ketiadaan kenyang dengan ketiadaan makan.
3. Pertambatan keadaan suatu barang dengan ketiadaan suatu
barang, seumpama : Pertambatan keadaan dingin dengan ketiadaan
kain baju adanya.
4. Pertambatan ketiadaan suatu barang dengan keadaan suatu
barang lainnya, seumpama :Ketiadaan hangus dengan keadaan tiada air menyiram jua
adanya.
Bermula, jika telah diketahui akan artinya
wajib syar’iy dan wajib ‘aqliy, bahwa keduanya berlainan
ma’na. Maka apabila dikata wajib atas tiap-tiap mukalaf, maka maksudnya itulah wajib syar’iy. Dan
jika wajib bagi Allah
Ta’ala atau bagi Rasul, maka
maksudnya ialah wajib ‘aqliy dan demikianlah pula jika
dikata Jaiz bagi Allah
Ta’ala atau harus harus bagi Allah
Ta’ala maka
maksudnya ialah jaiz ‘aqliy dan
jika jaiz bagi mukalaf
membuat masyalah,
maka maksudnya yaitulah jaiz syar’iy jua adanya.
Bermula yang
wajib bagi Allah
Jalla wa ‘azza dengan tafshil
inilah {dua puluh shifat} yang telah berdiri
dalil ‘aqliy dan dalil naqliy atasnya. Dan tersebut dibawah
tiap-tiap satu shifat dengan maknanya
beserta dalilnya, beserta lagi tersebut kepatutan, kelakuan orang mukmin yang me’itiqad pada Allah bershifat dengan
shifat-shifat itu. Maka itulah kelakuan mukmin
yang sempurna imannya.
Adapun
lain-lain shifat Allah Jalla wa’azza yang tiada ada hingganya
banyaknya. Maka wajib atas tiap-tiap mukalaf
mengetahuinya {ajmal} saja didalam perkataan muttashifu kamalin yaitu bershifat
Allah Ta’ala dengan
tiap-tiap shifat kesempurnaan. Adapun yang mustahil
pada Allah Jalla wa’azza dengan
tafshil, maka adalah itu {dua puluh} perkara yaitu lawannya {dua puluh shifat}
yang wajib satu persatu disebut sesudahnya shifat itu. Adapun yang mustahil pada
Allah Jalla wa’azza dengan {ajmal} yaitu ada didalam perkataan :
“Munazzahu ‘an-kulli
naqshin wamaa khathara bil-bali.’’
“Maha suci
Allah dari pada tiap-tiap shifat
kekurangan dan Maha suci
dari barang yang tercita-cita
didalam hati.’’
0 komentar:
Post a Comment