Kandungan Tashawwuf - Ethica

                                                                                      
 
       2.     E t h i c a.
Didalam  tashawwuf  banyak sekali unsur – unsur ethica, ajaran – ajaran akhlak, al-akhlakul karimah baik kepada manusia atau kepada Tuhan.  Kalau orang – orang filsafat Yunani kuno nada ethicanya adalah  pada kemanusiaan. Sedang  norma yang dipakai adalah baik dan buruk menurut akal. Untuk itu bisa di difinisikan ethica sebagai berikut :
“Ethica adalah ‘ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk denganmelihat pada  amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahi akal fikiran.’’
Karena itu didalam baik buruknya sesuatu perbuatan itu dipandang akal fikiran semata-mata maka timbullah beberapa aliran tentang ethica yang satu sama lainnya berbeda menurut jurusan dari mana mereka meninjau.  Apalagi kalau kita hubungkan dengan kepribadian tiap – tiap  bangsa yang satu sama lainnya adalah berbeda.
Suatu contoh :  Apabila ada sepasang laki – laki dan perumpuan (muda– mudi) yang  tiada hubungan resmi sedang bercumbu-rayu ditempat terbuka umpama dipinggir, hal ini kalau dilakukan di Indonesia khususnya  di perkampungan maka ini adalah perbuatan yang sangat rendah.  Maka orang tersebut dicap amoral.  Tapi sebaliknya bila hal ini dilakukan di dunia  Eropa hal ini tidak apa-apa bukan suatu perbuatan amoral.
Dari pernyataan tersebut bisa di simpulkan bahwa adanya cumbu-rayu ditepi jalan yang tidak diperhatikan oleh orang lain memang disamping manusia–manusia sibuk dengan fikiran dan urusan sendiri, juga hal tersebut karena sudah merupakan hal yang biasa bagi orang Eropa bukan merupakan hal yang melanggar ethica mereka.
Dalam ethica kaum filsafat ini ada juga menilai baik dan buruk itu dari tinjauan natur  ( fitrah ) apakah perbuatan itu sesuai dengan natur manusia atau tidak.  Aliran inilah yang terkenal dengan nama  ethica Naturalisme.
Ada juga yang penilaiannya itu ditinjau dari besar dan kecilnya manfaat dari perbuatan tersebut bagi manusia.  Aliran ini disebut aliran ethica Utilitarisme atau utilisme.  Boleh disebut juga  utilitarianisme atau Universalistic.   Sebagaimana mereka ma’nakan :
“bahwasanya yang dinamakan manfaat itu ialah suatu kebahagian untuk jumlah    manusia yang sebesar-besarnya.’’
{ “Utylity is happiness for the greatest number of sentient beings’’}.
Aliran manfaat ini jika kita dicermati bisa dikatakan sempit, sebab praktek sehari-hari dalam kita berbuat adalah tidak melihat jumlah yang akan merasakan faedahnya perbuatan kita.  Sebab walaupun yang merasakan faedah itu sedikit, hal itu sudah bersusila- berethica namanya.
Memang ada  hadist yang menerangkan manusia yang terbaik adalah yang terbanyak memberi faedah bagi manusia :
“Qaalan nabiyyu shallallahu ‘laiyhi wasallama: Khairunnasi anfa’uhum llinnasi.”  (HR. Imam Muslim)
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.’’
Tapi kalau kita renungkan, hadist tersebut adalah berlafadz  khairunnas. Sedangkan  khairunnas adalah sinonim dari kata  ahsanunnas  atau seidentik artinya dengan  afdhalunnas.  Jadi tidak berarti  hasan atau yang  fadil  itu tidak bermanfaat sebagaimana  mafhum  mukhalafah  dari pengertian yang  kata ethica utilitarisme atau  utilisme.
Ada lagi  aliran yang disebut  ethica Idealisme  yaitu suatu perbuatan ethica yang tidak didasarkan atas sebab lahiriah, bukan karena anjuran orang lain dan bukan karena pujian seseorang, tapi perbuatan baik tersebut didasarkan atas prinsif  kerohanian yang lebih tinggi.  Oleh karena itu perbuatan baik yang didasarkan bukan karena Allah semata-mata bagi kaum shufiah adalah tidak berarti, bahkan hal itu adalah merupakan perbuatan yang berbahaya bagi sipelakunya.
Dan Imam Al-Ghazali menyatakan tentang ini :
“Innal insana ‘indasy syirkati abadan fi khatharin fa innahu layad rii  ayyul amriini  aghrlabu ‘alaa qashdihi farubbama yakunu ‘alaiyhi wa balan.’’
“Manusia dikala mensekutukan amal ( semata-mata bukannya karena Allah ) selamanya dalam keadaan kekhawatiran (teka-teki) karena ia tidak mengetahui manakah diantara keduanya yang lebih menonjol. Oleh karena itu terkadang amalnya menjadikan mara bahaya pada dirinya.’’
Ikhlas adalah syarat mutlak untuk diterimanya suatu amal sedangkan ria adalah menghapuskannya dan mendatangkan murka Allah.
Ada juga aliran ethica yang lebih dekat dengan ethica tashawwuf  ialah aliran ethica theologie ; suatu ethica dengan ukuran agama apakah perbuatan itu sesuai dengan perintah Allah ataukah perlawanan dengan perintahNya, walaupun masing-masing agama mempunyai ukuran sendiri-sendiri dalam menilai baik-buruknya sesuatu perbuatan.
Agama Islam mengakui dosa itu berlaku dalam perbuatan fitrah kejadian manusia. Manusia lahir dalam keadaan suci :
“ ‘An-abiy hurairata annahu kana yaquulu Qaala rasulullahi shalallahu ‘alaiyhi wa sallama: .’’Maa min  mauluudin illa yuladu ‘alal  fithrati  fa-abawahu yuhauwwi  danihi  wa yunashira nihi  wa yumij-jisanihi.’’
“Dari Abi Hurairah beliau berkata :  bersabda Rasulullah s.a.w. tidak ada seorang bayi yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci asli) maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan bayi tersebut Yahudi, Nasrani dan Majusi.’’
Dan yang terakhir dalam kalangan ethic-filsafat ialah aliran ethic yang berdasarkan kenikmatan. Baik buruknya perbuatan tergantung pada ada tidaknya unsur lezat dan nikmat pada perbuatan tersebut. Aliran ini disebut ethic Hedonisme yang dalam istilah Arab disebut  masdzaabul-ladzdzat. Demikianlah beberapa pandangan tentang ethica dalam aliran filsafat, dan bagaimana penguraian tentang ethica dalam kalangan tashawwuf.
Pembahasan ethica atau akhlak  dalam isi tashawwuf  ini ialah akhlak  yang akan membawakan manusia menuju bahagia dunia dan akhirat yaitu suatu budi-pekerti yang  baik  sebagaimana Imam  Al-Ghazali  mengatakan  didalam  Ikhya Ulumiddin juz III sebagai berikut :
“Fal   khuluqu  ‘ibaratun  ‘an hai-atin  finnafsi  raa sikhatin  ‘anhaa  tashdhurul af ‘alu  bisuhuu latin  wa yusrin  min ghairi  hajatin  ilaa fikrin wa rawiyyatin fainkanat  alhai-atu  bihai-tsu  tashduru  ‘anha  al-af ‘alul jamilatul  mahmudatu ‘aq-lan  wa syar ‘an  summit tilkal  hai-atu  khuluqan hasanan wa inkanash shadiru  ‘anhal  af ‘alul  qabiyhatu  summiyat  alhai-atullatii  hiyal  mushadiru  khuluqan  saiyyi-an.’’
“Budi pekerti itu merupakan suatu naluri asli dalam jiwa seseorang manusia, yang dapat melahirkan sesuatu tindakan dan kelakuan dengan gampang dan mudah tanpa rekaan pikiran. Maka jika naluri tersebut melahirkan suatu tindakan dan kelakuan yang baik bagi terpuji menurut akal dan syara’, dinamakan budi pekerti yang baik, tetapi manakala naluri itu melahirkan suatu perbuatan dan kelakuan jahat, maka dinamakan budi pekerti buruk..’’
Demikianlah keterangan Imam Al-Ghazali tentang budi pekerti, baik hal itu menerangkan hakikatnya atau norma yang dipakai untuk menentukan nilai baik atau buruk pada suatu perbuatan.  Maka disini dapat diuraikan tentang akhlak (ethica, budi pekerti) baik bagi falasifah atau shufiah :
a).    Haqiqat akhlak  (ethica, budi pekerti)
b).    Norma yang dipakai untuk menilai akhlak.
Bila diadakan  comparative diantara kedua akhlak tersebut dengan berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
a).    Nada ethica adalah kemanusian (humany) sedang nada ethica tashawwuf  adalah
         ( Imany ) yang consequentienya adalah berbuat baik kepada manusia.
b).     Norma yang dipakai ahli filsafat untuk menentukan baik buruk adalah   aqal sedang norma yang dipakai oleh ahli tashawwuf  adalah syara’.
c).  Tujuan yang dicapai oleh kaum  filsafat dalam berakhlak adalah kebhagian dunia,sedangkan tujuan yang dicapai kaum  shufiah adalah bahagia didunia dan akhirat.
Orang-orang shufi selalau menghiasi jiwanya dengan sifat-sifat yang terpuji dan menjauhkan dari sifat-sifat yang tercela. Sebagaimana Al-Qur’an maupun Al-Hadits banyak sekali yang menekankan hal itu.
Bukti dari ayat-ayat Al-Qur’an diantaranya :
“Qaalallah Ta’ala :’’Qad af-laha man dzakkaha, wa qad khaba mandas-saaha.’’
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mangsucikan jiwanya. Dan sesungguhnya  merugilah orang yang mengotorinya.’’ (QS. Asy-Syams 9-10)
 “Wa  amma  man  khaa-fa  maqaa-ma  rabbahi wanahan-nafsa ‘anil hawaa fa ‘innal  jannata hiyal makwaa.’’
“Dan  adapun  orang-orang  yang  takut  kepada  kebesaran  Tuhannya dan  menahandiri  dari  keinginan  hawa  nafsunya,   maka  sesungguhnya   syurgalah   tempatnya.’’  (QS. An-Naziah, 40-41).
“An masruuqin qaala: ‘’Kunnav juluu-san ma’a ‘abdillahibni ‘umara wayuhaddi-tsuna idzqaala:” Lam yakun rasulullahu ‘alaiyhi  wasallama  faa hisyan wala mutafah-hisyan  wa-annahu  kana   yaqulu  inna  khiya  rakum   ahaa  sinukum  akhlaaqan.’’
“Dari Masruq beliau berkata : ’’Kami sedang duduk beserta  Abdillah bin  Amar dikala beliau bercerita kepada kami beliau berkata : Rasulullah s.a.w. adalah bukan seorang yang  bertindak  kotor atau berusaha berbuat buruk, dan Rasulullah pernah berkata : Seutama-utama  kamu  sekalian  ialah  sebaik-baik  kamu  sekalian dibidang  akhlak.’’ (HR. Al-Bukhari)
Demikianlah diantara ayat-ayat dan hadits yang menekankan untuk berakhlak baik dan meninggalkan perangai yang tercela. Dan diantara ayat-ayat dan hadits tersebut dapat diketahui diantaranya suatu bentuk anjuran dan larangan. Dengan kata lain meninggalkan sifat-sifat tercela itu adalah wajib hukumnya. Oleh karena itu marilah bermohon kepada Allah semoga berakhlak karimah dan terhindar dari shifat-shifat yang tercela. Untuk melengkapi uraian ethica sebagai kandungan tashawwuf ini  sangatlah perlu dituturkan beberap contoh al-akhlaqul-karimah dari kaum mutashawwifin yaitu:  at-tawwaadhu-’  merendahkan diri.
“At-tawwadhu’u  khafdhul  janahi  walaiy-nul  jaa-nibi.’’        “Tawwaadhu’adalah merendahkan dirinya                              sendiri.’’                                                                                                             
Orang yang  tawwaadhu’  adalah tidak menganggap dirinya lebih tinggi dari orang lain. Orang yang mempunyai shifat tawwaadhu’  selalu memelihara pergaulan dan hubungan sesama manusia tanpa memandang derajat yang ada pada dirinya. Shifat tawwaadhu’ adalah suatu shifat yang membawakan kepada setiap manusia yang mempunyai shifat tersebut kesuatu derajat yang tinggi.

0 komentar: